Pikiran random yang muncul pagi ini, dalam keadaan masih kepet belum mandi dan perut kerucukan, gara-gara postingan seorang junior, mau tidak mau saya jadi keinget juga kalau pernah memikirkan hal yang kurang lebih sama. Perasaan bersalah yang terbersit saat sedang dalam kenikmatan hidup dan teringat soal saudara-saudara kita yang jauh lebih tidak beruntung.
Sambil menggoreng telur (karena sungguh, lambung saya rewel sekali kalau pagi) saya jadi memikirkan hal ini lebih mendalam.
Berlebih-lebihan. Dalam Alquran sendiri sudah dikatakan bahwa Allah tidak suka hal-hal yang berlebihan. Tapi bagaimanakah yag berlebihan itu? Bagi mereka yang kurang mampu, daging kambing dalam Idul Adha mungkin adalah suatu kemewahan. Namun bagi saya yang besar di keluarga yang kental nuansa Arabnya, gulai kambing adalah makanan sehari-hari kami. Lantas, apakah itu membuat saya dan keluarga menjadi orang yang berlebih-lebihan? Karena kami menikmati hal yang buat sebagian orang adalah kemewahan?
***
Saya pernah membaca tulisan seseorang entah di mana saya lupa, penulisnya pun saya lupa. Intinya dia menulis, ia dulunya suka mencibir mereka yang membeli barang-barang branded, tas puluhan juta, buat apa? Tapi kemudian ia mencoba berpikir lebih arif, bahwasanya sebenarnya, apakah salah? Jikalau mereka membeli barang-barang tersebut dengan keringat mereka sendiri bukankah itu adalah barang halal? Dan siapakah yang tahu kalau ternyata mereka menghabiskan banyak tetapi juga berderma sama banyaknya? Atau lebih? Jangan-jangan karena itulah Allah menganugerahkan rezeki yang melimpah sehingga iapun bisa membeli barang-barang (yang menurut kita) mewah tersebut?
Kalau saya mencoba berfilosofis, sesungguhnya kita hidup dalam dunia di mana standar adalah ciptaan manusia. Bagaimanakah orang yang kaya? Buat sebagian orang kaya bisa jadi memiliki dua rumah dan mobil. Buat yang lain mungkin berpikir, wah itu belum kaya. Kaya itu kalau lagi di luar negeri tapi tiap kepengin ke jamban langsung pulang ke Indonesia! Sah-sah saja. Everybody have their own standard. Buat saya, ada beberapa hal yang batasannya jelas, ada beberapa yang mungkin abu-abu. Atau mungkin tidak abu-abu, tetapi hitam putihnya hanya hati kita yang bisa menentukan.
Lalu soal berlebihan tadi? Soal merasa bersalah karena 'bersenang-senang di atas penederitaan orang lain'?
Sepertinya juga harus kembali ke hati. Jikalau junior saya tadi, si Upik, terbersit rasa bersalah karena menikmati secangkir coklat hangat saat banyak saudara-saudaranya (dan saudara-saudara kita juga) kelaparan, bersyukurlah. Sesungguhnya mata hatinya belum tertutup. Bagaimana kalau Upik lantas berderma seharga coklat panas tersebut (atau lebih) pada saudara-saudaranaya yang membutuhkan? Apakah itu akan membuat seolah ia sedang berbagi coklat hangat tersebut pada yang lainnya? Mungkin saja. Apakah itu akan paling tidak sedikit menghapus rasa bersalahnya? Kita tanyakan jikalau ia mencobanya. Yang jelas, itu adalah kebaikan.
Dan sekarang, sambil menatap sepiring dadar hangat yang sudah dibalur kecap, saya mengucap syukur; Ya Allah Gusti terima kasih... hari ini masih bisa makan, masi sehat, masih ada tempat berlindung,... (daftar syukur ini masih akan berlanjut seandainya lambung saya tidak mengejang lagi karena rewel. Ah, kau lambung, sungguh rewel pagi ini!).
***
Ya Allah, sungguh saya adalah manusia penuh kekurangan. Jika ada salah persepsi, itu tak lain keterbatasan saya sebagai manusia, maafkanlah... Sesungguhnya engkau yang paling tahu apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Nanti jika hamba beli sepatu lagi karena pengen, itu adalah hasrat duniawi, sepenuhnya hamba mengerti. Tetapi bukankah itu manusiawi? Dan sesungguhnya Engkau menyukai keindahan? Keindahan tampil dalam wujud sepatu lucu yang merengek minta dibawa pulang..
Jikalau hal itu terjadi Ya Allah, ketika dunia menawarkan semua kenikmatan, jangan biarkan hamba lengah. Jadikanlah kenikmatan tersebut sebagai jalan hamba untuk menjadi hamba yang bersyukur. Ingatkanlah hamba pada nasib yang lain. Munculkanlah sikap tidak suka berlebih-lebihan dengan teguran halus dalam sanubari hamba. Amin Ya Rabbal Alamin...
No comments:
Post a Comment