Sunday, August 7, 2016

Review Royal Wedding by Meg Cabot

I, literally, growing up with Princess Diaries. Saya mungkin baca serial ini sekitar pertengahan SMP, if I'm not mistaken. Awalnya gara-gara iseng aja beli pas liat bukunya di deretan teenlit (I've been a teenager, of course!), Eh, terus ketagihan. Sejak itu saya selalu nunggu-nunggu seri selanjutnya. Pokoknya kalau lagi main ke Gramed Samarinda, saya pasti clingak clinguk di area teenlit, ngintipin udah keluar belum yaa edisi terbarunya hehe...

Jadi bisa anda bayangin dong... after like, you know, thousand years, saya lagi iseng jalan-jalan ke toko buku, tau-tau nemuin novel dengan judul Royal Wedding by Meg Cabot, gimana reaksi saya..


Image from here. 

Iya, kayak ketemu cinta pertama :>
.
.
.
Enggak ding, cinta pertama daku berakhir tragis. Lebih tepatnya ketemu sohib yang lamaaaa banget nggak ketemu kali yaa...


Surprise banget!!!

Baca sekilas sampul belakangnya sih masih ngasih goosebumps yang sama. Saya bahkan nggak repot-repot minta Mbak SPG buat bukain plastik sampul dan ngebaca sekilas isinya, like I used to do. Langsung ambil aja dan masukin ke kantong belanjaan.



Honestly, 1 % bagian otak saya yang waras merasa saya udah terlalu tuwir baca ginian
tapi 99 % lagi yang melankolis--dan sayangnya, impulsif juga!--memutuskan bahwa nggak mungkin gue lewatin yang satu ini... Ini pengecualian!!


Pulang dari toko buku langsung dah dibaca. Azka dianggurin, muehehe... Untung ada Kung ama Utinya. Sampe Utinya Azka komen, 'Ummimu tuh kalau udah baca buku..hmm...' *pake nada mau ngomel tapi kayaknya anaknya dah ketuaan buat diomelin hehehe*


Belum sampai setengah buku dibaca, saya udah pengen cepet-cepet ngelarin. Bukan karena asyik banget, sayangnya, malah sebaliknya..

Dulu saya merasa Princess Diaries itu aku banget, nemenin masa remaja saya. Tokoh utamanya, Mia, juga seumuran dengan saya waktu itu, 14 tahun. Walaupun ceritanya Mia udah SMU dan saya masih SMP, tapi nggak susah buat saya memahami jalan cerita dan pemikiran para tokoh di sana. Memang ada beberapa scene yang Barat banget, tapi it's okelah... masih acceptable. Di edisi terakhir serial Princess Diaries waktu itu, berakhir saat Mia lulus SMA.

Nah ketika saya baca Royal Wedding ini, kisahnya sudah loncat saat Mia usia 26 tahun; sudah lima tahun sejak ia lulus kuliah, Yang berarti juga, 10 tahun lebih tua dari Mia di edisi terakhir Princess Diaries. Sejak awal baca saya sudah merasa kehilangan sosok Mia yang canggung, cenderung naif dan polos. Ceritanya banyak dibumbui kehidupan s3ks Mia yang buat saya sangaaat mengganggu. Alurnya terasa padat seolah banyak yang ingin dirangkum Meg Cabot dalam buku ini (ten years, huh?).  Konfliknya banyak, tapi nggak mendalam; tau-tau ada masalah ini, tau-tau udah selesai. Beda sama serial terdahulu yang punya satu masalah utama yang selesai di akhir buku, hanya ditambahi masalah remeh temeh lain sebagai pelengkap cerita.

Kalau boleh bilang, yang paling mengecewakan adalah transisi saat Mia sedang mempersiapkan pernikahannya, eh tau-tau bab selanjutnya dikisahkan sudah kelar acaranya. Excusenya sih karena Si Mia ceritanya repot dengan persiapan pernikahan plus ini itu jadi nggak sempet nulis diary, dan baru sempet setelah pernikahan (buku ini memang ditulisnya dalam format buku diary si tokoh utama). Tapi tetep aja...serius nih? Royal wedding which doesn't tell much about wedding?

Misalnya gambaran gaun pengantin yang sangat saya tunggu-tunggu. Dalam beberapa seri sebelumnya, gaun hampir jadi elemen penguat utama, dan Meg Cabot selalu mendefinisikannya dengan detail. Misalnya gaun berwarna hijau tua dengan potongan sederhana yang dipakai Mia ke prom, atau gaun biru cantik saat Nondenominational Winter Dance. Semuanya digambarkan dengan detail dan bikin imajinasi melayang-layang. Jadi saya awalnya punya ekspektasi tinggi dengan wedding gown-nya si Putri Mia ini. Ehlahdahlah, kok cuma dibilang rok tulle dengan 'cubitan' dan dihiasi berlian berbentuk MM (Mia-Michael, bukan Mickey Mouse, if you're wondering). Oh noooo.. Kecut dahh buat yang ngarep penggambaran ala-ala gaunnya Kate Middleton atau paling Bella Swan lah. Bahkan momen seperti saat berjalan ke pelaminan hanya disinggung sekilas. Padahal, dengan riwayat kepribadiannya Mia, pernikahan ini harusnya jadi momen yang sangat touchy and sweet. Cerita ditutup dengan ending yang super nggak penting dan nggak ada manis-manisnya-having s3ks again! Arghh...

Selesai baca--akhirnya selesai juga!--saya jadi kecewa dan nyesel udah keluar uang buat beli buku ini. Saya mikir lama.. kemana perginya one of my all time favorite serial? Saya nggak tahu novel ini masuk jajaran bestseller nggak seperti pendahulunya--saya nggak mau repot-repot untuk googling.
cuma lama-lama saya mikir, apa saya yang ngarepnya ketinggian ya?

Novel ini memang punya jeda waktu yang lama dengan seri terakhir. kalau dihitung-hitung mungkin hampir sepuluh tahun juga ya.. Tokoh  utamanya pun sudah loncat usia 10 tahun. Salah kali ya kalau berharap masih dapat model cerita yang sama seperti yang dulu?
Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, untuk wanita usia 26 tahun, di New York, bisa jadi gaya hidupnya Mia ya sesuai-sesuai aja dengan kultur di sana. Mungkin saya harusnya sadar, saat kisah penutup edisi yang lalu Mia memutuskan melepaskan keperawananya after prom (yang awalnya dia berjanji akan menjaga kesuciannya sampai pernikahan), bahwa kisah ini mungkin tidak akan tumbuh seperti yang saya impikan..

Mungkin ia akan tumbuh seperti mereka yang berusia 26 tahun di Barat sana, mungkin kisah seperti ini yang mereka ingin dengar. Tapi sebenarnya, kenapa juga seorang putri dalam novel harus punya kehidupan yang sama seperti kaum jelata umumnya?

Untuk saya yang hidup di Timur, jadi terasa jurang yang menganga.
Mungkin buat Meg Cabot, kisah seorang putri yang benar-benar perawan sampai pernikahan adalah gagasan yang terlalu absurd. Sama absurdnya buat saya yang membaca ratusan halaman sambil bertanya-tanya kenapa hubungan badaniah Michael Mia harus dapat porsi yang besar dalam buku ini?

Sayangnya, ini yang membuat serial Princess Diaries nggak lagi terasa seperti kisah Princess.
Mungkin judul yang tidak lagi ada kata-kata Princess-nya dan sampul yang tidak khas seperti volume-volume sebelumnya juga indikasi bahwa kisah ini akan berbeda? Well, in a later googling, I found out that this novel was defined as adult novel. First adult novel from Royal Wedding line, others added.

Selain itu, banyak 'isu kekinian' yang mengganggu. Ask me which part, and I will tell you gladly.

Kalau ada yang masih menarik dari buku ini adalah tokoh Grandmere yang masih tetap galak dan nyentrik--sangat menghibur. Dan Lana juga, eks pemandu sorak yang sekarang bermarga Rockefeller, yang omong-omong punya kehidupan yang lebih mirip putri ketimbang Mia, kalau anda tanya saya (have a decent life and baby girl name Iris). Oh and Boris Pelkowski (The Borettes! Ngakak ampun deh).

Selain itu, sayangnya, saya nggak melihat alasan kenapa buku ini harus dibaca mereka yang ingin nostalgia dengan Princess Diaries.


Meg Cabot, can you make another version of Royal Wedding, please?
Sincerely, yours.



No comments: